Engkau pula yang bolak-balikan hati ini
Engkau uji dengan segala macam ujian
Engkau uji dengan beberapa pilihan
Engkau juga yang tahu batas kekuatan hati ini
maka,
kuatkanlah hati ini, Tuhan.
-bumiayu-
Engkau yang ciptakan hati ini
Engkau pula yang bolak-balikan hati ini Engkau uji dengan segala macam ujian Engkau uji dengan beberapa pilihan Engkau juga yang tahu batas kekuatan hati ini maka, kuatkanlah hati ini, Tuhan. -bumiayu-
0 Comments
Dalam senja
mentari datang perlahan menampakkan raut malu-malunya. Kala waktu bergulir jauh nampak kehangatan mulai menyelimuti tanah yang basah tanpa hadirnya. Membangunkan daun tuk segera bekerja Menghangatkan tubuhku yang semalam malas tanpa hadirnya Engkau tak lelah Tubuh ini jauh denganmu Namun kehangatan ini begitu dekat Dengan cara apapun Peluk aku selalu Meskipun hanya dengan terangmu -tangerang- Bila malam kembali gelap tak berbintang,
dingin kembali menusuk tulang, bulan enggan datang, dan bintang tak memberi terang. Masih sanggupkah raga ini berjalan? Bila cinta hanya sebatas kata, Rindu mendatangkan nestapa, indahmu membuatku lupa, dan untuk apa kita berjumpa. Masih lengkapkah tubuh tanpa bayangmu? -tangerang- Inginku menangis
karena malu pada diri sendiri bagaimana mungkin diam saat suara sekitar menangis sumbang. Terabaikan dengan sengaja Inginku bergerak lebih cepat karna perubahan tidak untuk ditunggu karna kesejahteraan tak bisa tercipta hanya dengan goresan-goresan Karna nurani sudah menjerit sedangkan mereka hidup sendiri-sendiri. Bergerak kawan! Tapi masa muda masih menjadi masa untuk hura-hura Seperti bintang
Kau hadir di saat gelap, gulita malam. Seperti mimpi Kau hadir saatku terlelap, dalam lelahnya hari. Seperti angin Kau hadir saatku bukakan pintu, dihatiku. Seperti apapun itu, Kau hadir disaat yang ku kehendaki. Hadirnya dirimu
membuat suasana baru dihatiku Lucunya senyummu meluluhkan hatiku Cubitanmu manjamu menghancurkan segala benci masa lalu Bayanganmu membukakan pintu terkunci dihatiku kenapa perasaan ini begitu cepat hingga kupun tak tahu kapan, kenapa, dan bagaimana Hadirmu yang singkat tawamu yang singkat tatapanmu, senyumanmu, bibirmu... Semunya begitu singkat, tapi mengenangmu jauh dari itu Terkenang selalu Aku benci saat saat seperti ini
saat hati harus merindu Aku benci saat saat seperti ini kala gundah melanda hati Aku benci saat saat seperti ini kala imajinasi tak sanggup menggambarkan parasmu Aku benci saat saat seperti ini saat jarak memisahkan raga Aku benci bila harus seperti ini Karena rindu mengisi ruang waktu -tangerang-. Absennya hati
bekunya perasaan masih tak berkutik kala berjua dengan yang lalu Kala hati kosong tak ada perasaan yang lain hanya beku. Terlalu lama membisu dalam diam, dikolong kekecewaan Tersudut dalam lorong Pintu yang terkunci dari luar dan dalam tak mampu membuka hanya tersudut. Ia datang begitu saja dari kanopi awan yang menghitam. Turun bersamaan dengan meredupnya sinar mentari yang tadinya membakar. Ia turun secara perlahan, waktu terasa bergerak melambat. Walaupun kenyataannya waktu tak pernah berkhianat. Ia membuat debu yang tadinya beterbangan bebas diruang tanpa batas. Langsung tunduk terdiam olehnya. Debu itu larut menuju ketitik terendah. Malu pada kekuatannya yang datang tiba-tiba.
Ia turun semakin menjadi-jadi, awan hitam diatasnya memanggil kawan. Membuat semuanya terdiam, menyaksikan kegagahannya turun dari langit. Ada yang memaksa melawan, namun tak sanggup bertahan. Ia sungguh perkasa. Ia datang semakin menjadi-jadi. Membawa segala macam noda yang tadi berkeliaran terbawa sepi. Ada juga yang berbahagia menyambutnya datang. Karena ialah kehidupan. Memberikan sesuatu menjadi lebih indah. Ia menemani sepi yang sudah lama menanti. Ia tak rela membiarkan siapapun mati karena merindukannya. Ia membuat siapapun yang menantikannya, terjatuh pada lamunan. Membuat selimut menjadi hangat. Membuat selimut menjadi sangat bermanfaat. Terlelap. Semakin lama ia turun dengan kegagahannya. Semakin membuat siapapun yang dijatuhinya terlena. Diam, dalam kenyamanan. Ia menghilangkan kehangatan, tapi membuat kehangatan lebih bermakna karenanya. Ia membuat siapapun terlena. Bahkan waktu yang sering kali egois. Waktu yang dulu lebih suka menyendiri, kini sangat bahagia dengan kedatangannya. Angin tak ingin terlupakan. Ia cemburu padanya karena membuat waktu jatuh cinta. Angin mengusirnya. Mengusir segala lamunan. Angin mengingatkan bahwa ia telah membuat waktu terlalu dalam memeluk kenyamanan. Angin membawanya pergi kelain tempat. Tapi bekasnya tak akan cepat menghilang. Waktu masih terlelap dalam lamunan, sebelum akhirnya sadar. Ia telah pergi. Pergi jauh. Ia menyerah pada angin yang cemburu. Waktu dirundung rindu, rindu pada ia yang menjadikannya terlelap. Waktu menanti, menunggu. Seperti halnya kegiatannya selama ini. Tapi sekarang waktu ada sesuatu yang dinanti. Satu tahun, sepuluh tahun, seratus, dua ratus, tak terhitung lagi berabad-abad waktu menanti. Waktu sadar, bahwa ia telah berkhianat. Melukai hati sang waktu. Kenapa ia pergi memberi kenyamanan hanya karena angin. Waktu tak percaya lagi terhadapnya. Ketika suatu saat, ia datang lagi. Memberikan kesejukkan yang sudah lama dinanti oleh waktu. Tapi waktu sudah benci dengannya. Waktu menyuruh angin menghembuskannya lagi. Waktu tak percaya lagi dengannya. Dengan Cinta. Ia mengendarai mobilnya dalam tenang, di sepanjang jalan Parangtritis, Yogyakarta pada jam 1 malam, dini hari. Bersama teman yang biasanya menemaninya dalam cerita cinta yang berulang-ulang, dan terkadang terlalu membosankan untuk didengarkan. Mungkin terlalu bosan juga memberikan nasihat, karena semuanya mental, dan diabaikan. Hasyim, temannya, menyalakan radio di mobil, mencoba mencari frequency radio yang menurutnya bakalan pas untuk suasana hati teman disampingnya itu. Mungkin juga sebuah keputusan yang salah melihat suasana hati temannya galau.
"Kayaknya enak nie" ucap hasyim saat menemukan frequency radio yang menyetel lagu-lagu dengan tema persahabatan. Mungkin persahabatan bisa membuat hatinya lebih dingin, pikirnya. Edi hanya menengok ke temannya sebentar tanpa mengerti apa yang sedang ia omongkan. Pikirannya sedang menerawang ke suatu tempat yang ia pun tak yakin bisa mencapai imajinasinya dengan tepat. Tapi sakit di hatinya sungguh bisa menggambarkannya. Didepan sebuah gapura besar yang menandakan bahwa dia sudah dekat untuk masuk ke area pantai parangtritis sudah nampak jelas. Tapi pada jam segini sungguh sepi, dan tidak ada penjaga yang akan meminta mereka untuk membayar tiket masuk. Edi mulai melambankan laju mobilnya. "Enaknya belok kanan atau lurus nieh, syim?" "hah?" jawab Hasyim gagap. "Kita mau ke Depok atau Paris?" "Terserah elu aja cuy, gue mah manut aja" Suasana kembali diam. Edi melaju lurus. Radio menyalakan lagu tentang persahabatan. Betapa bahagianya Punya banyak teman Betapa senangnya Betapa bahagianya Dapat saling menyayangi Mensyukuri karunia-Nya "Lagunya siapa tuh?" Tanya Edi, setelah mendengar lagu yang tak asing, Sistem Limbik di otaknya tak mampu menginat lagu yang tak asing itu. "Lagunya sherina kayaknya bro. Gak tau juga sih, tapi suaranya kayak Sherina kecil" Jawab Hasyim dengan sedikit tawa, mengingat betapa jadulnya lagu yang di mainkan di Radio, entah radio apa. "Gila, jadul banget tuh lagu. Masih nyimpen kasetnya tuh Radio? Atau mungkin masih pake tape? hahaha" Edi menimpali. Ternyata lagu jadul tentang persahabatan itu membuat suasana sedikit lebih cair. Mereka mulai mengingat-ingat lagi masa kecil mereka. Saat mereka masih bermain dengan kaset tape. Saat dimana mereka masih tertawa-tawa sendiri saat sms request lagu di salah satu frequency radio kesukaannya dibacakan, dengan titipan salam untuk seseorang yang mereka sukai. Walaupun mereka tahu kesempatan orang yang disukainya itu mendengar salam di radio sangat kecil, tapi mereka tetap merasa tersipu malu. Membayangkan segala kemungkinan. Lalu diam dan tersenyum dalam lamunan. |