Ia datang begitu saja dari kanopi awan yang menghitam. Turun bersamaan dengan meredupnya sinar mentari yang tadinya membakar. Ia turun secara perlahan, waktu terasa bergerak melambat. Walaupun kenyataannya waktu tak pernah berkhianat. Ia membuat debu yang tadinya beterbangan bebas diruang tanpa batas. Langsung tunduk terdiam olehnya. Debu itu larut menuju ketitik terendah. Malu pada kekuatannya yang datang tiba-tiba.
Ia turun semakin menjadi-jadi, awan hitam diatasnya memanggil kawan. Membuat semuanya terdiam, menyaksikan kegagahannya turun dari langit. Ada yang memaksa melawan, namun tak sanggup bertahan. Ia sungguh perkasa. Ia datang semakin menjadi-jadi. Membawa segala macam noda yang tadi berkeliaran terbawa sepi.
Ada juga yang berbahagia menyambutnya datang. Karena ialah kehidupan. Memberikan sesuatu menjadi lebih indah. Ia menemani sepi yang sudah lama menanti. Ia tak rela membiarkan siapapun mati karena merindukannya. Ia membuat siapapun yang menantikannya, terjatuh pada lamunan. Membuat selimut menjadi hangat. Membuat selimut menjadi sangat bermanfaat. Terlelap.
Semakin lama ia turun dengan kegagahannya. Semakin membuat siapapun yang dijatuhinya terlena. Diam, dalam kenyamanan. Ia menghilangkan kehangatan, tapi membuat kehangatan lebih bermakna karenanya. Ia membuat siapapun terlena. Bahkan waktu yang sering kali egois. Waktu yang dulu lebih suka menyendiri, kini sangat bahagia dengan kedatangannya.
Angin tak ingin terlupakan. Ia cemburu padanya karena membuat waktu jatuh cinta. Angin mengusirnya. Mengusir segala lamunan. Angin mengingatkan bahwa ia telah membuat waktu terlalu dalam memeluk kenyamanan.
Angin membawanya pergi kelain tempat. Tapi bekasnya tak akan cepat menghilang. Waktu masih terlelap dalam lamunan, sebelum akhirnya sadar. Ia telah pergi. Pergi jauh. Ia menyerah pada angin yang cemburu. Waktu dirundung rindu, rindu pada ia yang menjadikannya terlelap. Waktu menanti, menunggu. Seperti halnya kegiatannya selama ini. Tapi sekarang waktu ada sesuatu yang dinanti. Satu tahun, sepuluh tahun, seratus, dua ratus, tak terhitung lagi berabad-abad waktu menanti.
Waktu sadar, bahwa ia telah berkhianat. Melukai hati sang waktu. Kenapa ia pergi memberi kenyamanan hanya karena angin. Waktu tak percaya lagi terhadapnya.
Ketika suatu saat, ia datang lagi. Memberikan kesejukkan yang sudah lama dinanti oleh waktu. Tapi waktu sudah benci dengannya. Waktu menyuruh angin menghembuskannya lagi.
Waktu tak percaya lagi dengannya. Dengan Cinta.
Ia turun semakin menjadi-jadi, awan hitam diatasnya memanggil kawan. Membuat semuanya terdiam, menyaksikan kegagahannya turun dari langit. Ada yang memaksa melawan, namun tak sanggup bertahan. Ia sungguh perkasa. Ia datang semakin menjadi-jadi. Membawa segala macam noda yang tadi berkeliaran terbawa sepi.
Ada juga yang berbahagia menyambutnya datang. Karena ialah kehidupan. Memberikan sesuatu menjadi lebih indah. Ia menemani sepi yang sudah lama menanti. Ia tak rela membiarkan siapapun mati karena merindukannya. Ia membuat siapapun yang menantikannya, terjatuh pada lamunan. Membuat selimut menjadi hangat. Membuat selimut menjadi sangat bermanfaat. Terlelap.
Semakin lama ia turun dengan kegagahannya. Semakin membuat siapapun yang dijatuhinya terlena. Diam, dalam kenyamanan. Ia menghilangkan kehangatan, tapi membuat kehangatan lebih bermakna karenanya. Ia membuat siapapun terlena. Bahkan waktu yang sering kali egois. Waktu yang dulu lebih suka menyendiri, kini sangat bahagia dengan kedatangannya.
Angin tak ingin terlupakan. Ia cemburu padanya karena membuat waktu jatuh cinta. Angin mengusirnya. Mengusir segala lamunan. Angin mengingatkan bahwa ia telah membuat waktu terlalu dalam memeluk kenyamanan.
Angin membawanya pergi kelain tempat. Tapi bekasnya tak akan cepat menghilang. Waktu masih terlelap dalam lamunan, sebelum akhirnya sadar. Ia telah pergi. Pergi jauh. Ia menyerah pada angin yang cemburu. Waktu dirundung rindu, rindu pada ia yang menjadikannya terlelap. Waktu menanti, menunggu. Seperti halnya kegiatannya selama ini. Tapi sekarang waktu ada sesuatu yang dinanti. Satu tahun, sepuluh tahun, seratus, dua ratus, tak terhitung lagi berabad-abad waktu menanti.
Waktu sadar, bahwa ia telah berkhianat. Melukai hati sang waktu. Kenapa ia pergi memberi kenyamanan hanya karena angin. Waktu tak percaya lagi terhadapnya.
Ketika suatu saat, ia datang lagi. Memberikan kesejukkan yang sudah lama dinanti oleh waktu. Tapi waktu sudah benci dengannya. Waktu menyuruh angin menghembuskannya lagi.
Waktu tak percaya lagi dengannya. Dengan Cinta.